TUGAS KWN 1
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dunia
kedokteran yang dahulu seakan tidak terjangkau oleh hukum, dengan berkembangnya
kesadaran masyarakat akan kebutuhannya tentang perlindungan hukum menjadikan
dunia pengobatan bukan saja sebagai hubungan keperdataan, bahkan sering
berkembang menjadi persoalan pidana. Banyak persoalan-persoalan malpraktek yang
kita jumpai, atas kesadaran hukum pasien maka diangkat menjadi masalah pidana.
Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu pemikiran dan langkah-langkah yang
bijaksana sehingga masing-masing pihak baik dokter maupun pasien memperoleh perlindungan
hukum yang seadil adilnya. Membiarkan persoalan ini berlarut-larut akan
berdampak negatif terhadap pelayanan medis yang pada akhirnya akan dapat
merugikan masyarakat secara keseluruhan. Memang disadari oleh semua pihak,
bahwa dokter hanyalah manusia yang suatu saat bisa salah dan lalai sehingga
pelanggaran kode etik bisa terjadi, bahkan mungkin sampai pelanggaran
norma-norma hukum.
Belum adanya
parameter yang tegas antara pelanggaran kode etik dan pelanggaran didalam
perbuatan dokter terhadap pasien, menunjukan adanya kebutuhan akan hukum yang
betul-betul diterapkan dalam pemecahan masalah-masalah medik, yang hanya bisa
diperoleh dengan berusaha memahami fenomena yang ada didalam profesi
kedokteran.
Kedudukan
pasien yang semula hanya sebagai pihak yang bergantung pada dokter dalam
menentukan cara penyembuhan (terapi) kini berubah menjadi sederajat dengan
dokter. Dengan demikian dokter tidak boleh lagi mengabaikan pertimbangan dan
pendapat pihak pasien dalam memilih cara pengobatan termasuk pendapat pasien
untuk menentukan pengobatan dengan operasi atau tidak. Akibatnya apabila pasien
merasa dirugikan dalam pelayanan dokter maka pasien akan mengajukan gugatan
terhadap dokter untuk memberikan ganti rugi terhadap pengobatan yang dianggap
merugikan dirinya. Dokterpun bereaksi, tindakan-tindakan penuntutan
dipengadilan itu mereka anggap sebagai ancaman.
Penerapan
hukum dibidang kedikteran dianggap sebagai intervensi hukum. Mereka
mengemukakan bahwa KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) sudah cukup untuk mengatur
dan mengawasi dokter dalam bekerja, sehingga tidak perlu lagi adanya intervensi
hukum tersebut. Dokter merasa resah dan merasa diperlakukan tidak adil sehingga
mereka menuntut perlindungan hukum agar dapat menjalankan profesinya dalam
suasana tentram. Sampai sekarang yang mereka persoalkan adalah perlindungan
hukum dan bukan mengenai masalah tanggung jawab hukum serta kesadaran hukum
dokter dalam menjalankan profesinya. Hal ini menunjukan kurangnya pengertian
mengenai Etika dan Hukum dalam kalangan dokter. Demikian juga kerancuan
pemahaman atas masalah malpraktek medik, masih sering dianggap
pelanggaran norma etis profesi saja yang tidak seharusnya diberikan sanksi
ancaman pidana.
Memang kita
harus berkata jujur bahwa profesi kedokteran merupakan suatu profesi yang penuh
dengan resiko dan kadang-kadang dalam mengobati penderita atau pasien dapat
terjadi kematian sebagai akibat dari tindakan dokter. Resiko ini kadangkala
diartikan oleh pihak luar profesi kedokteran sebagai malpraktek medik.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas,mka kami
merumuskan masalah pada kasus tersebut yaitu:
1.
Apa sanksi pidana bagi seorang
Dokter yang melakukan malpraktek?
2.
Apa saja pertanggung jawaban bagi dokter yang
melakukan malpraktek?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Untuk
mengetahui ketentuan sanksi pidana bagi seorang Dokter Yang melakukan
malpraktek.
2. Tujuan
Khusus
« Agar
Mahasiswa mengetahui sanksi pidana bagi seseorang dokter yang melakukan
malpraktek.
« Agar
Mahasiswa mengetahui Jenis Malpraktek
« Agar Mahasiswa mengetahui Pertanggung jawaban dalam Hukum
Pidana Bagi seorang Dokter yang melakukan Malpraktek
« Agar
Mahasiswa mengetahui Penanganan
Malpraktek di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Malpraktik
Malpraktik
Berasal dari kata “mal” yang berarti buruk dan “practice” yang berarti suatu
tindakan atau praktik. Malpraktik adalah suatu tindakan medis buruk yang
dilakukan dokter dalam hubungannya dengan pasien.
Malpraktik
adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter pada waktu
melakukan pekerjaan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak
berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau
dilakukan oleh dokter pada umumnya didalam situasi dan kondisi yang sama
(Berkhouwer & Vorsman, 1950).
Menurut
Hoekema, 1981, malpraktik adalah setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter
karena melakukan pekerjan kedokteran dibawah standar yang sebenarnya secara
rata-rata dan masuk akal, dapat dilakukan oleh setiap dokter dalam situasi atau
tempat yang sama.
Malpraktik
adalah suatu tindakan tenaga profesional (profesi) yang bertentangan dengan
standard operating procedure (SOP), kode etik profesi, serta undang-undang yang
berlaku (baik disengaja maupun akibat kelalaian) yang mengakibatkan kerugian
dan kematian terhadap orang lain.
B. Jenis Malpraktek
1. Malpraktek
Etik
Yang
dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang
dituangkan da dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan
atau norma yang berlaku untuk dokter.
Ngesti
Lestari berpendapat bahwa malpraktek etik ini merupakan dampak negatif dari
kemajuan teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran yang sebenarnya
bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, dan membantu
dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih cepat, tepat dan
akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata memberikan efek
samping yang tidak diinginkan.
Efek samping
ataupun dampak negative dari kemajuan teknologi kedokteran tersebut antara lain
:
1) Kontak atau
komunikasi antara dokter dengan pasien semakin berkurang.
2) Etika
kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis.
3) Harga
pelayanan medis semakin tinggi, dsb.
Contoh konkrit
penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran yang merupakan malpraktek etik ini
antara lain :
• Dibidang
diagnostic
Pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan bilamana dokter mau
memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan janji untuk
memberikan “hadiah” kepada dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter
kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut.
• Dibidang
terapi
Berbagai perusahaan yang menawarkan
antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan yang akan diperoleh dokter
bila mau menggunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa mempengaruhi
pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien. Orientasi terapi
berdasarkan janji-janji pabrik obat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan
indikasi yang diperlukan pasien juga merupakan malpraktek etik.
2. Malpraktek
Yuridik
Soedjatmiko
membedakan malpraktek yuridik ini menjadi :
1) Malpraktek
Perdata (Civil Malpractice)
Terjadi
apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian
(wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan
lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad)
sehingga menimbulkan kerugian pada pasien.
Adapun isi
dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa :
*
Tidak melakukan apa yang menurut
kesepakatan wajib dilakukan.
*
Melakukan apa yang menurut
kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melaksanakannya.
*
Melakukan apa yang menurut
kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan
hasilnya.
*
Melakukan apa yang menurut
kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Sedangkan
untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa
syarat seperti :
*
Harus ada perbuatan (baik berbuat naupun
tidak berbuat).
*
Perbuatan tersebut melanggar hukum
(baik tertulis maupuntidak tertulis).
*
Ada kerugian.
*
Ada hubungan sebab akibat (hukum
kausal) antara perbuatan yang melanggar hukum dengan kerugian yang diderita.
*
Adanya kesalahan (schuld)
Sedangkan untuk
dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian dokter, maka
pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsure berikut :
*
Adanya suatu kewajiban dokter
terhadap pasien.
*
Dokter telah melanggar standar
pelayanan medik yang lazim.
*
Penggugat (pasien) telah menderita
kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
*
Secara faktual kerugian itu
disebabkan oleh tindakan dibawah standar.
Namun
adakalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan adanya kelalaian dokter.
Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi “res ipsa loquitor” yang artinya
fakta telah berbicara. Misalnya karena kelalaian dokter terdapat kain kasa yang
tertinggal dalam perut sang pasien tersebut akibat tertinggalnya kain kasa
tersebut timbul komplikasi paksa bedah sehingga pasien harus dilakukan operasi
kembali. Dalam hal demikian, dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya
kelalaian pada dirinya.
2) Malpraktek
pidana karena kesengajaan (intensional)
Misalnya pada kasus-kasus melakukan
aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia, membocorkan rahasia kedokteran, tidak
melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang
lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak
benar.
3) Malpraktek
pidana karena kecerobohan (recklessness)
Misalnya melakukan tindakan yang
tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta
melakukan tindakn tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
4) Malpraktek
pidana karena kealpaan (negligence)
Misalnya terjadi cacat atau kematian
pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang hati-hati atau alpa
dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga tubuh pasien.
3. Malpraktek
Administratif (Administrative Malpractice)
Terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran
terhadap hukum Administrasi Negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek
dokter tanpa lisensi atau izinnya, manjalankan praktek dengan izin yang sudah
kadaluarsa dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
C. Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana
Untuk
memidana seseorang disamping orang tersebut melakukan perbuatan yang dilarang
dikenal pula azas Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa
kesalahan). Azas ini merupakan hukum yang tidak tertulis tetapi berlaku
dimasyarakat dan juga berlaku dalam KUHP, misalnya pasal 48 tidak memberlakukan
ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan pidana karena adanya daya
paksa. Oleh karena itu untuk dapat dipidananya suatu kesalahan yang dapat
diartikan sebagai pertanggungjawaban dalam hukum pidana haruslah memenuhi 3
unsur, sebagai berikut :
* Adanya
kemampuan bertanggung jawab pada petindak artinya keadaan jiwa petindak harus normal.
* Adanya
hubungan batin antara petindak dengan perbuatannya yang dapat berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
* Tidak adanya
alas an penghapus kesalahan atau pemaaf.
D. Perbedaaan kesengajaan dan kealpaan.
Mengenai
kesengajaan, KUHP tidak menjelaskan apa arti kesengajaan tersebut. Dalam Memorie
van Toelichting (MvT), kesengajaan diartikan yaitu melakukan perbuatan yang
dilarang dengan dikehendaki dan diketahui.
Dalam
tindakannya, seorang dokter terkadang harus dengan sengaja menyakiti atau
menimbulkan luka pada tubuh pasien, misalnya : seorang ahli dokter kandungan
yang melakukan pembedahan Sectio Caesaria untuk menyelamatkan ibu dan
janin. Ilmu pengetahuan (doktrin) mengartikan tindakan dokter tersebut sebagai
penganiayaan karena arti dan penganiayaan adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang
lain. Didalam semua jenis pembedahan sebagaimana sectio caesare tersebut,
dokter operator selalu menyakiti penderita dengan menimbulkan luka pada pasien
yang jika tidak karena perintah Undang-Undang “si pembuat luka” dapat dikenakan
sanksi pidana penganiayaan. Oleh karena itu, didalam setiap pembedahan, dokter
operator haruslah berhati-hati agar luka yang diakibatkannya tersebut tidak
menimbulkan masalah kelak di kemudian hari. Misalnya terjadi infeksi nosokomial
(infeksi yang terjadi akibat dilakukannya pembedahan) sehingga luka operasi
tidak bisa menutup. Bila ini terjadi dokter dianggap melakukan kelalaian atau
kealpaan.
Kealpaan
merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga
bukan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam kealpaan sikap batin
seseorang menghendaki melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali tidak
menghendaki ada niatan jahat dari petindak. Walaupun demikian, kealpaan yang
membahayakan keamanan dan keselamatan orang lain tetap harus dipidanakan.
Moeljatno
menyatakan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan
dengan menentang larangan, sedangkan kealpaan adalah kekurang perhatian pelaku
terhadap obyek dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang
dilarang, sehingga kesalahan yang berbentuk kealpaan pada hakekatnya sama
dengan kesengajaan hanya berbeda gradasi saja.
E. Penanganan Malpraktek di Indonesia
Sistem hukum
di Indonesia yang salah satu komponennya adalah hukum substantive, diantaranya
hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi tidak mengenal bangunan
hukum “malpraktek”.
Sebagai
profesi, sudah saatnya para dokter mempunyai peraturan hukum yang dapat
dijadikan pedoman bagi mereka dalam menjalankan profesinya dan sedapat mungkin
untuk menghindari pelanggaran etika kedokteran.
Keterkaitan
antara Belbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter, merupakan bidang hukum
baru dalam ilmu hukum yang sampai saat ini belum diatur secara khusus. Padahal
hukum pidana atau hukum perdata yang merupakan hukum positif yang berlaku di
Indonesia saat ini tidak seluruhnya tepat bila diterapkan pada dokter yang
melakukan pelanggaran. Bidang hukum baru inilah yang berkembang di Indonesia
dengan sebutan Hukum Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas dikenal
dengan istilah Hukum Kesehatan.
Istilah
hukum kedokteran mula-mula diunakan sebagai terjemahan dari Health Law yang
digunakan oleh World Health Organization. Kemudian Health Law
diterjemahkan dengan hukum kesehatan, sedangkan istilah hukum kedokteran
kemudian digunakan sebagai bagian dari hukum kesehatan yang semula disebut
hukum medik sebagai terjemahan dari medic law.
Sejak World
Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan berkembang pesat di
Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum pada tanggal 1
Nopember 1982 dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di Indonesia dengan
tujuan mempelajari kemungkinan dikembangkannya Medical Law di Indonesia. Namun
sampai saat ini, Medical Law masih belum muncul dalam bentuk modifikasi
tersendiri. Setiap ada persoalan yang menyangkut medical law penanganannya
masih mengacu kepada Hukum Kesehatan Indonesia yang berupa Undang-Undang No. 23
Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kalau ditinjau dari
budaya hukum Indonesia, malpraktek merupakan sesuatu yang asing karena batasan
pengertian malpraktek yang diketahui dan dikenal oleh kalangan medis
(kedokteran) dan hukum berasal dari alam pemikiran barat. Untuk itu masih perlu
ada pengkajian secara khusus guna memperoleh suatu rumusan pengertian dan
batasan istilah malpraktek medik yang khas Indonesia (bila memang diperlukan
sejauh itu) yakni sebagai hasil oleh piker bangsa Indonesia dengan berlandaskan
budaya bangsa yang kemudian dapat diterima sebagai budaya hukum (legal
culture) yang sesuai dengan system kesehatan nasional.
Permasalahan
malpraktek di Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan)
dan jalur non litigasi (diluar peradilan). Untuk penanganan bukti-bukti hukum
tentang kesalahan atau kealpaan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan
profesinya dan cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam
pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkaitan dengan
masalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai
anggota masyarakat, sebagai penanggung jawab hak dan kewajiban menurut
ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh karena menyangkut 2 (dua) disiplin
ilmu yang berbeda maka metode pendekatan yang digunakan dalam mencari jalan
keluar bagi masalah ini adalah dengan cara pendekatan terhadap masalah medik
melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik
Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut
dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses melalui
jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis
Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis
Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi
profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang
terjadi merupakan pelanggaran etika atau pelanggaran hukum. Hal ini juga
diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa
penentuan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh
Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi
melalui Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3).
Pada tanggal
10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang Majelis
Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya
kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya.
Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya
terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi
profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila
dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan
lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang
terikat kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan
membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa
puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang
memikirkan kepentingan pasien.
F. Sanksi Hukum
Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kelalaian yang mengakibatkan celaka atau
bahkan hilangnya nyawa orang lain ditur dalam pasal 359 yang berbunyi:
“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu
tahun".
Sedangkan
kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat
diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:
*
Barang siapa karena kealpaannya
menyebabkan orag lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
*
Barang siapa karena kealpaannya
menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau
halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembian bulan atau kurungan paling
lama enam bulan atau denda paling tinngi tiga ratus juta rupiah.
Pemberatan
sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan
malpraktik, sebagaimana pasal 361 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
berbunyi: “Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga
dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana
dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.
Namun,
apabila kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan malpraktik yang
mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang lain
maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat
dilakukan. Berdasarkan Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan
aturan kode etik profesi praktik dokter. Tindakan malpraktik juga dapat
berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang
dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga
mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian
yang dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365
Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Sedangkan
kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang
berbunyi: Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian
atau kurang hati-hatinya.
Kepastian
Hukum Melihat berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas
dapat dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan.
Tetapi, juga para dokter akan dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena
telah melakukan malpraktik dan bahkan juga tidak tertutup kemungkinan hilangnya
profesi pencaharian akibat dicabutnya izin praktik. Apalagi, azas kepastian
hukum merupakan hak setiap warga negara untuk diperlakukan sama di depan hukum
(equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah (presumptions of
innocence) sehingga jaminan kepastian hukum dapat terlaksana dengan baik dengan
tanpa memihak-mihak siapa pun. Hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang dapat
dikategorikan seorang dokter telah melakukan malpraktik, apabila:
*
Bahwa dalam melaksanakan kewajiban
tersebut, dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai.
*
Pelanggaran terhadap standar
pelayanan medik yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik
Kedokteran Indonesia.
*
Melanggar UU No36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
G. Contoh kasus malpraktek dalam kesehatan
a) Judul :
Kasus Malpraktek dalam bidang Orthopedy yaitu Gas Medik yang Tertukar.
Seorang
pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana
layaknya, sebelum pembedahan dilakukan anastesi terlebi dahulu. Pembiusan
dilakukan oleh dokter anastesi, sedangkan operasi dipimpin oleh dokter ahli
bedah tulang (orthopedy).
Operasi
berjalan lancar. Namun, tiba-tiba pasien mengalami kesulitan bernafas. Bahkan
setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan
hingga tidak sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di
perawatan intensif dengan bantuan mesin pernapasan (ventilator). Tentu kejadian
ini sangat mengherankan. Pasalnya, sebelum dilakukan operasi, pasien dalam
keadaan baik, kecuali masalah tulangnnya.
Usut punya
usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas anastesi
(N2O) yang dipasng pada mesin anastesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang
diberikan gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberia CO2
pada pasien tentu mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga
proses oksigenasi menjadi sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan
akhirnya meninggal. Ini sebuah fakta penyimpangan sederhana namun berakibat
fatal.
Dengan kata
lain ada sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas anastesi. Dan ternyata, di
rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar pengamanan pemakaian gas yang
dipasang di mesin anastesi. Padahal seeharusnya ada standar, siapa yang harus
memasang, bagaimana caranya, bagaimana monitoringnnya, dan lain sebagainya.
Idealnya dan sudah menjadi keharusan bahwa perlu ada sebuah standar yang
tertulis (misalnya warna tabung gas yang berbeda), jelas, dengan formulir yang
memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan ditandatangani.
Seandainya prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil kemungkinan
terjadi kekeliruan. Dan kalaupun terjadi akan cepat diketahui siapa yang
bertanggungjawab.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
« Malpraktik
adalah suatu tindakan tenaga profesional (profesi) yang bertentangan dengan
standard operating procedure (SOP), kode etik profesi, serta undang-undang yang
berlaku (baik disengaja maupun akibat kelalaian) yang mengakibatkan kerugian
dan kematian terhadap orang lain.
« Sanksi hukum
bagi dokter yang melakukan Malpraktek terdapata dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), kelalaian yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa
orang lain ditur dalam pasal 359 dan dalam Pasal 360 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
2. SARAN
Bagi semua
orang yang bertugas sebagai pelayan kesehatan dan juga bagi penulis serta siapa
saja yang nantinya akan bekerja yang bergerak di bidang kesehatan, hendaknya
bisa menggunakan waktu yang masih ada semaksimal mungkin untuk mempelajari
semua hal yang berkaitan dangan tugas kita nantinya, agar segala macam tindakan
pelanggaran ataupun kelalaian dapat diminimalisir dan semoga bisa dihilangkan.
DAFTAR PUSTAKA
þ Prof.Dr.Abdul
Azis Wahab,M.A.2011. Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung
: Alfabeta
þ KavingMadukismo.2006.Etika
Profesi dan Pekerjaan. Yogyakarta:Pustaka Yustisia.
þ http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/malpraktek-dan-pertanggungjawaban-hukumnya/
þ http://www.scribd.com/doc/47523637/Kasus-Malpraktek